Minggu, 09 November 2008

Pasar Blauran vs BG Junction



Lokasi berdirinya BG Junction yang berdekatan dengan Pasar Blauran menimbulkan persaingan. Berdirinya BG Junction sebagai pusat perbelanjaan modern menawarkan berbagai fasilitas yang lebih lengkap dan modern atau lebih dikenal sebagai mall. Sebaliknya, Pasar Blauran sebagai pasar tradisional masih berkutat dengan masalah klasik pasar, yaitu lahan parkir yang sempit, pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan, maupun kebersihan dan bau yang tidak sedap. Pasar Blauran sendiri mempunyai cita-cita menjadi pasar semi modern seperti DTC.

Aprilya, Fajar, Ivan, Yohanes, Ricky, Putra, David, Christoper, Daniel, Selvi, Juliani

Blauran: Bukan Sekedar Pasar Emas


Setiap pasar memiliki ciri kas masing-masing. Demikian juga dengan Para Blauran yang dulunya merupakan tempat perdagangan emas. "Kalau dulu yang terkenal di Pasar Blauran itu jual beli emas, tetapi sekarang pasar Blauran juga menjual buku (baru/bekas), konveksi, jajanan tradisional, perlengkapan manten dan juga merancang. Jadi sekarang pasar Blauran tidak hanya identik dengan emas, hampir semua kebutuhan sehari-hari tersedia di sini", demikan hasil wawancara dengan Bu Yayuk Kaur Umum Pasar Blauran. Lantai 2 khusus menjual konveksi dan tas.

Komoditas yang dijual di Pasar Blauran berasal dari sekitar Surabaya saja, seperti keperluan pernikahan dari Pasar Kapasan. Para pedagang buku mendapatkan pasokan dari distributor penerbit, sementara pemasok "jajan pasar" atau kue-kuemenitipkan barangnya pada para pedagang.

Aprilia, Imam, Ario, Aditya, Fawaz, Handi, Anggarini, Putri, Gaby, Rona

Wonokromo: Pasar Semi Modern

Sejak awal berdirinya pada 1955, Pasar Wonokromo yang terletak di pintu masuk Surabaya bagian selatan, mengadakan renovasi gedung pada 2004. Pembangunan pada 1955 dan 2002 mempunyai alasan yang sama, kebakaran. Meskipun menyediakan beranekaragam kebutuhan, pasar ini terkenal sebagai pasar konveksi atau pakaian. Dengan jumlah stan aktif mencapai 3.525 unit, total pendapatan dari pengelolaan pasar mencapai lebih dari Rp 3 milyar per tahun.

Nocika, Dewi, Pudika, Fitra, Dwi, Resty, Leilani, Francisca, Croline, dan Devina

Nasib 95% Sampah di Pasar Keputran

Dipimpin oleh Bapak M. Kholik, bagian kebersihan Pasar Keputran harus berhadapan dengan volume sampah sayur-sayuran yang mencapai 40 m3 per hari. Bekerjasama dengan Pusdakota Ubaya dan Kitakyusu Jepang, pengembangan model pengelolaan sampah pasar ini dilakukan dengan daur ulang sampah menjadi pupuk kompos, dengan lokasi pengolahan di samping sebelah timur pasar. Pada saat survey ini dilakukan, jumlah sampah yang berhasil diolah baru mencapai 5% dari total volume sampah. Setiap hari, sampah-sampah tersebut diangkut oleh pemborong/rekanan untuk didaur ulang. Di bawah pimpinan Pak Kholik, pengolahan sampah dikerjakan oleh para tukang sapil sebanyak 30 orang. 95% sampah masih dibuang ke lahan pengampungan akhir di Benowo.

Pasar Genteng: Tertua

Melalui GB No 6 8 Desember 1872, pasar genteng diresmikan dan dinyatakan sebagai pasar tertua di Surabaya. Saat itu, bango-bango swasta disewakan sekitar 1 sampai 5 sen untuk setiap hari pasaran. Atas usul dari Mr Abendanon, Pemerintah Kolonial mengambil alih bango atau kedai tersebuts selanjutnya pengembangan los-los pasar disediakan oleh pemerintah. Kebijakan mengambil alih pasar-pasar partikelir ini dilakukan atas kebijakan Gemeente pada 1906.

Pada 1916, sebuah los pasar sepanjang 24 meter dibangun di Pasar Genteng untuk pedagang elektronik. Pasar Genteng tidak pernah berpindah tempat dan tidak pernah mengalami musibah kebakaran. Perluasan lahan dan penambahan bangunan dilakukan pada 1975. Pada 1987 dilakukan perbaikan dan pemasangan keramik. Bagaimana dengan tahun 1990-an?

Saat ini, pasar genteng terdiri dari 3 lantai. Lantai bawah untuk penjual bahan makanan. Alasannya, untuk mempercepat dan mempermudah pasokan karena bahan makanan tidak bisa tahan lama. Lantai 2 dan 3 untuk barang-barang elektronik.

Seperti halnya pasar tradisional, kondisi sarana dan prasarana pendukung sangat buruk. Toilet sangat kurang peramatan. Keterbatasan lahan parkir, menyebabkan mobil harus parkir di jalan raya yang cukup jauh dari pasar. Petugas keamanan jarang terlihat.

Sejarah: Gunawan, Iskandar, Fony, Lylys, Steven, Budi, Meriany, Olivia, Meilani, Yeni, Lucia.
Komoditas: Salmon, Yuso, Iwan, Elen, Dian, Lilia, Fernando, Citrawati, Martinus, Mia, Arie
Fasilitas: Mario Marselinus, Maulidia, Diva, Steffy, Fiona, Cahya, Sugih, Meliza, Danny, Kent

Jumat, 07 November 2008

Pasar


Pusat Grosir Surabaya = Pasar Turi (?)
















"PGS ini jauh sebelum Pasar Turi terbakar sudah didirikan, dan banyak pedagang dari Pasar Turi sudah membeli. Jauh sebelum kebakran mereka sudah mempunyai investasi di PGS ini." Demikian ditekankan oleh Bapak Riko, dari PT Jasamitra Propertindo pengelola PGS. Menurut Mbak Kiki, pegawai toko boneka, "Sebelum kebakaran, kan sudah beli stan di sini (PGS), rencananya buat asesoris, ternyata setelah kebakaran ga jadi asesoris. Jadinya, boneka yang dipindah ke sini. Pindahnya mulai bulan Juli kemaren.

Sebelum survey ke sana, kami kira PGS itu relokasi Pasar Turi. Pasar Turi memang langganan kebakaran. Tahun 1950, 1970, dan terakhir 2007.

Deny, Halim, Agung, Rellitha, Wenty, Belinda, Nyoman, Made, Setiawan, dan Padma

Blauran: Apalah Arti Sebuah Nama

Menurut Pak Hakim, pedagang buku di Pasar Blauran sejak 1994, kata ”blauran” berasal dari kata Blau = pagar dan ran = pasar. Jadi Blauran adalah pagar yang mengelilingi pasar. Penjual menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara jaman dahulu dengan jaman sekarang. Perbedaan ini ditunjukkan dengan bahwa dahulu terdapat ”harga keluarga” maksudnya harga buku atau barang-barang yang dijual di pasar Blauran dulu bisa ditawar, tetapi pada sekarang ini harga buku yang dijual sudah ada standard harga jualnya berbentuk seperti koran. Sekarang ini, harga-harga buku yang dijual di Pasar Blauran rata-rata harganya sama dengan yang dijual toko buku Uranus.

Ada juga versi lain tentang nama Blauran.Menurut Pak Edi Samson ketua Tim 11 Von Faber Cagar Budaya, ”blauran” lahir dari dua suku kata berbahasa Belanda, yakni blauwe (biru) dan rand (renda). Sebab, dulu sekitar 1700 dikompleks Blauran tersebut didirikan tembok panjang putih. Tembok setinggi lima meter tersebut menjadi pembatas rumah golongan pengusaha Tionghoa yang kaya raya dengan warga pribumi. Agar tembok tersebut manis dipandang, para pengusaha mengecatkan renda biru ditembok itu, sehingga menjadi Blauran. Namun, ada versi lain tentang nama Blauran menurut Romo Bintarti pada tahun 1964. Asal mula nama kampong itu adalah kata Balur atau Mbalur yang berarti mengeringkan ikan. Sebagai tempat mengeringkan ikan, warga lebih enak menyebut nama mblauran. Selain nama, ada persoalan historis yang menarik pada kampung-kampung tersebut. Benih-benih nasionalisme arek Surabaya juga bermula dari kompleks tersebut. Pendatang luar kota saat ini lebih suka menyebut bertandang ke Bubutan Golden Junction dari pada menyebut kewilayahan yang memiliki nilai historis kuat. Pendirian pusat perbelanjaan tak terasa juga menenggelamkan perdagangan tradisional di kompleks Blauran. Padahal, sejak zaman kolonial Belanda, lingkungan itu dikenal sebagai pusat perbelanjaan pribumi. Menurut Achudiat, Blauran adalah daerah keraton. Di sekitarnya tumbuh kampung-kampung yang dulu merupakan kampung para kerabat serta abdi kerajaan. Pusatnya terletak di alun-alun Contong. Kawasan sekitarnya seperti Bubutan, Kranggan, Blauran, dan Maspati adalah daerah sekitar pusat pemerintahan.

Devi, Messa, Yunieta, Mellisa, Yuli Susilawati, Kiky Zero, Novianti, Febriana, naomi, Riska, Mita Ayu

Blauran: pasar pagar atau renda biru?

Pasar Blauran terkenal dengan pasar buku, meskipun di depan pasar nampak sederet toko emas. Belum lagi jenis makanan yang dijual.

Menurut Pak Hakim, pedagang buku di Pasar Blauran sejak 1994, kata ”blauran” berasal dari kata Blau = pagar dan ran = pasar. Jadi Blauran adalah pagar yang mengelilingi pasar. Penjual menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara jaman dahulu dengan jaman sekarang. Perbedaan ini ditunjukkan dengan bahwa dahulu terdapat ”harga keluarga” maksudnya harga buku atau barang-barang yang dijual di pasar Blauran dulu bisa ditawar, tetapi pada sekarang ini harga buku yang dijual sudah ada standard harga jualnya berbentuk seperti koran. Sekarang ini, harga-harga buku yang dijual di Pasar Blauran rata-rata harganya sama dengan yang dijual toko buku Uranus.

Ada beberapa versi lain tentang cerita Pasar Blauran. Berdasarkan sumber dari Litbang di Kantor Pasar Blauran, "blauran" berasarl dua suku kata berbahasa Belanda, yakni blauwe (biru) dan rand (renda). Sebab, dulu sekitar 1700 dikompleks Blauran tersebut didirikan tembok panjang putih. Tembok setinggi lima meter tersebut menjadi pembatas rumah golongan pengusaha Tionghoa yang kaya raya dengan warga pribumi. Agar tembok tersebut manis dipandang, para pengusaha mengecatkan renda biru ditembok itu, sehingga menjadi Blauran. Namun, ada versi lain tentang nama Blauran menurut Romo Bintarti pada tahun 1964 (seperti artikel yang dikutip oleh Sarkawi B. Husain, sebagai dosen sejarah Unair, dalam tulisannya yang berjudul Sepanjang Jalan Kenangan : Makna dan Perebutan Simbol Nama Jalan di Kota Surabaya). Asal mula nama kampong itu adalah kata Balur atau Mbalur yang berarti mengeringkan ikan. Sebagai tempat mengeringkan ikan, warga lebih enak menyebut nama mblauran. Selain nama, ada persoalan historis yang menarik pada kampung-kampung tersebut. Benih-benih nasionalisme arek Surabaya juga bermula dari kompleks tersebut. Pendatang luar kota saat ini lebih suka menyebut bertandang ke Bubutan Golden Junction dari pada menyebut kewilayahan yang memiliki nilai historis kuat. Pendirian pusat perbelanjaan tak terasa juga menenggelamkan perdagangan tradisional di kompleks Blauran. Padahal, sejak zaman kolonial Belanda, lingkungan itu dikenal sebagai pusat perbelanjaan pribumi. Menurut Achudiat, Blauran adalah daerah keraton. Di sekitarnya tumbuh kampung-kampung yang dulu merupakan kampung para kerabat serta abdi kerajaan. Pusatnya terletak di alun-alun Contong. Kawasan sekitarnya seperti Bubutan, Kranggan, Blauran, dan Maspati adalah daerah sekitar pusat pemerintahan.

(Devi, Messa, Yunieta, Mellisa, Yuli, Kiky Zero, Novianti, Febriana, Naomi, Riska, Mita Ayu Rahmani, kelas D)

Kamis, 06 November 2008

Komunitas Pedagang Pasar Atom

Di Pasar Atom ada komunitas pedagang yang diberi nama HIPPA, dengan anggota sekitar 600 orang atau 50% dari jumlah pedagang. Salah satu kegiatan utama dari komunitas pedagang ini adalah memfasilitasi para pedagang pasar Atom untuk membayar pajak. Kegiatannya antara lain penyuluhan pajak sampai membantu melakukan pembayaran pajak. Menurut Pak WIlliam (mantan ketua HIPPA), iuran yang dibayar oleh para anggota antara Rp 10.000 sampai Rp 25.000 per bulan. Kepengurusan HIPPA ini berganti setiap 2 tahun. Selain HIPPA, di Pasar Atom juga terdapat perkumpulan cator Xiang Qi. Menurut Pak Robert, anggota perkumpulan ini adalah engkong-engkong lansia. Untuk mengisi waktu luang, para lansia di Pasar Atom ini mempunyai kegiatan bermain catur. Maka jadilah Xiang Qi. Sementara itu, Pasar Atom tahap III mempunyai sekumpulan arisan setiap bulannya.

Siauw Wandy, Danny Kurniawan, Monica Listya, Entyar Winarti, Haristia Purnamasari, Francisca Cindy Wijaya, Samuel Kusditraja, Amelia Soegiharto, Yonathan Hermantara, Alexander Lays, dan Rosalina Setiawan.

Pasar Keputran: Riwayatmu Kini

Entah mengapa pasar ini dinamai Pasar Keputran. Keputran sendiri sebenarnya mempunyai arti tempat putra-putra raja tinggal dan belajar. Di dalam pasar terdapat sebuah gang bernama Gang Kepoeteran, yang diapit oleh bangunan-bangunan kuno milik orang asli Surabaya. Tempat yang disebut "wilayah kuno" tersebut sekarang menjadi pusat jual beli sayur mayur terbesar di Surabaya.

Berawal dari sekumpulan pedagang yang semakin lama semakin banyak, pasar ini dikembangkan pada 1979. Dari luas sekitar 100 meter persegi, pasar ini diperluas hampir satu hektar yang menampung lebih dari 900 pedagang. Dagang sayur memberikan peluang bagi siapapun tanpa syarat pendidikan dan modal yang besar. Tidak heran, krisis ekonomi 1998 membuat jumlah pedagang di pasar ini meningkat, selain itu jumlah pengungsi akibat konflik di Sampit juga menjadikan pasar ini semakin padat.

Para pedagang dikenal dengan sebutan "mrijo". Awalnya yang bekerja sebagai mrijo adalah perempuan dengan membawa obor sebagai penerangan dan keranjang tampah berisi sayur di atas kepala. Para mrijo ini berjualan mulai pukul 2 sampai 3 subuh. Bu Tani, salah seorang "mrijo" selama 53 tahun. Dia mulai berjualan pada usia 14 tahun. Sekarang yang disebut mrijo adalah laki-laki yang mendorong gerobak sayur atau mengendarai sepeda motor membawa sayur sebagai barang dagangan.

Pasar sayur ini buka mulai pukul 14.00 hingga pukul 6.00 pagi. Ketika sebagian penduduk Surabaya terlelap, justru aktivitas pasar ini semakin ramai. Bahkan aktivitas perdagangan tumpah ruah ke jalan raya. Karena jumlah pedaganga semakin banyak, pasar ini sudah tidak mampu menampung aktivitas perdagangan sayur. Sejak dibangun pada 1979, pasar ini tidak pernah dibangun lagi. Rencananya, pemerintah akan membangun pusat perdagangan sayur yang lebih luas lagi, sekitar 8 hektar atau 8 kali lipat dari pasar Keputran sekarang.

oleh: William Howardy, Fanny Oktaviana, Lidya Widhianto, Ratih Kusuma, Ika Permatasari, Ferawati Ulrica, Effie Setyani, Sin Linda, Valeria Diona, Fenny Herawati, dan Peter Sie (kelas B).