Sabtu, 24 Januari 2009

Meredam Krisis Global di Jawa Timur

A. Hery Pratono
Gelombang krisis dunia sudah bisa dirasakan dampaknya di Jawa Timur. PHK sudah terjadi di sentra-sentra industri yang mengandalkan pesanan, khususnya untuk pasar ekspor. Fenomena ini mirip dengan Depresi Besar 1920an, yang waktu itu menghancurkan perekonomian Jawa Timur. Padahal, awal 1900an adalah era keemasan ekonomi Jawa Timur sebagai sentra industri gula dunia. Buktinya, mesin uap sebagai teknologi paling canggih di Asia Tenggara saat itu pertama kali ada di Jawa Timur, yaitu di Wonokromo.

Krisis global waktu itu yang menggeser Inggris sebagai pusat ekonomi dunia digantikan oleh Amerika. Selanjutnya bisa ditebak, secara perlahan tapi pasti, dinamika ekonomi di Pulau Jawa juga mengalami pergeseran ke arah Jawa bagian barat. Mungkinkah Jawa Timur bertahan menghadapi krisis global abad 20-an ini, yang nampaknya akan menggeser peran Amerika?
Dalam pendekatan ekonomi makro yang mengandalkan analisis pertumbuhan ekonomi, untuk mengurangi angka pengangguran sekaligus menyerap pertumbuhan angkatan kerja di Jawa Timur yang mencapai angka 500 ribu dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Namun rasanya cukup sulit untuk mencapai angka ini. Dengan kondisi krisis seperti ini, pertumbuhan ekonomi sebesar 5% sudah cukup bagus bagi perekonomian Jawa Timur.

Dengan perkiraan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2008 Jawa Timur mencapai Rp 500 trilyun, pertumbuhan sebesar 5% dari PDRB berarti setara dengan Rp25 trilyun. Dengan perkiraan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) sebesar 5 maka diperlukan investasi sekitar 5 x Rp 25 trilyun, yaitu 125 trilyun. Mungkinkah Jawa Timur bisa menggenjot investasi sebesar itu?

Kebutuhan investasi sebesar 125 trilyun adalah sebuah angka yang cukup besar mengingat Penanaman Modal Asing 2008 sampai Oktober dilaporkan BPS sebesar US$2,5 milyar atau setara dengan 27 trilyun sedangkan investasi domestik diperkirakan mencapai 10 trilyun. Sisanya ditutup dari investasi pemerintah dan kredit sektor perbankan. APBD Propinsi 2008 sebesar 7,3 trilyun dan total APBD Kabupaten Kota kurang lebih berkisar pada angka 35 trilyun. Kalau kita perhatikan lebih jauh, rata-rata alokasi APBD untuk belanja langsung tidak lebih dari 25% atau setara dengan 10 trilyun.

Dengan dana pihak ketiga sektor perbankan atau tabungan masyarakat sebesar 80 trilyun, kredit sektor perbankan tahun 2008 rata-rata 75% dari load deposit ratio atau hanya mampu memenuhi sekitar Rp 60 trilyun, dengan asumsi suku bunga cukup kompetitif di kisaran 9 sampai 10%. Itu pun masih ada kekurangan sekitar 10 trilyun. Dengan pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 4%, diperkirakan gelombang pengangguran akan semakin besar lagi.

Dampak dari scenario terburuk tersebut harus ditanggung di sentra-sentra Industri. Sementara daerah-daerah pinggiran seperti kabupaten-kabupaten yang terletak tepi laut selatan masih bisa bertahan dengan bergantung pada ekonomi subsistence atau mengandalkan kebun sendiri untuk sekedar memenuhi kebutuhan pangan.

Namun demikian, program-program stimulus yang akan terserap ke kawasan sentra-sentra ekonomi hendaknya tidak mengabaikan kebutuhan dasar kawasan pinggiran. Rata-rata daerah-daerah pinggiran tersebut hanya mampu menghasilkan PDRB Rp 1 trilyun per tahun. Bandingkan dengan kebutuhan investasi Jawa Timur yang mencapai 125 trilyun yang akan terserap ke Surabaya dan Sekitarnya. Paling tidak harus ada jaminan untuk memenuhi pendidikan dan kesehatan dasar. Sudah selama 10 tahun terakhir, rata-rata pendidikan masyarakat Jawa Timur hanya berkisar di angka 6 tahun atau hanya lulus SD. Tidak heran ICOR di Jawa Timur cukup tinggi alias ekonomi yang tidak produktif.